Sabtu, 19 Januari 2008

menjemput kematian kpk

Saldi Isra

Sulit dibantah, uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang tengah berlangsung di DPR berpotensi "membunuh" KPK. Potensi itu segera menjadi fakta jika DPR gagal memahami signifikansi kehadiran KPK sebagai extra-ordinary body dalam skenario pemberantasan korupsi.

Oleh karena itu, uji kelayakan dan kepatutan seharusnya menjadi wadah untuk mendapatkan orang-orang bersih yang memiliki keberanian dan kemauan ekstra dalam menggerakkan mesin pemberantasan korupsi yang bernama KPK. Sekiranya gagal mendapatkan figur seperti itu, hasil uji kelayakan dan kepatutan akan berubah menjadi kereta mayat yang tengah bergerak menjemput kematian KPK.

Menjinakkan KPK

Meski belum optimal dan menuai banyak kritik, langkah KPK dalam tiga tahun terakhir tetap memberi sinyal positif dalam agenda pemberantasan korupsi. Sejumlah kalangan mulai merasa tidak nyaman dengan KPK. Bahkan beberapa instansi tempat korupsi yang selama ini sulit disentuh aparat penegak hukum mulai merasa terancam dengan kehadiran KPK. Oleh karena itu, mulai muncul upaya untuk menjinakkan KPK.

Sampai sejauh ini sejumlah langkah telah (dan sedang) dilakukan sebagai bagian dari upaya menjinakkan KPK. Misalnya, mengajukan uji materi (judicial review) terhadap sejumlah undang-undang dalam ranah pemberantasan korupsi, termasuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Catatan yang ada, terhadap undang-undang tersebut telah berkali-kali diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana diketahui, strategi uji materi tidak sepenuhnya berhasil menjinakkan agenda pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, muncul upaya lain, yaitu mendorong perubahan undang-undang dalam ranah pemberantasan korupsi. Sepanjang yang bisa dilacak, perubahan justru diarahkan pada pasal-pasal yang selama ini menjadi momok para koruptor. Celakanya, sebagian pasal itu potensial menjinakkan dan melumpuhkan KPK.

Karena uji materi tidak optimal dan proses perubahan masih perlu waktu, kalangan yang alergi dengan KPK mengincar proses seleksi calon pimpinan KPK. Targetnya jelas, proses seleksi menghasilkan figur yang tidak memiliki keberanian dan tidak memiliki kemauan kuat memberantas korupsi. Pendeknya, demi menjinakkan KPK, diupayakan sedemikian rupa agar pimpinan KPK yang terpilih mampu berkompromi dengan pelaku korupsi.

Favoritisme

Beberapa waktu lalu, ketika proses seleksi di panitia seleksi tengah berlangsung, saya pernah mempersoalkan isu perwakilan lembaga penegak hukum di KPK (Kompas, 23/8). Persoalan tersebut dikemukakan tidak dapat dilepaskan dari pengalaman lembaga penegak hukum konvensional (polisi dan jaksa) dalam menangani kasus korupsi. Dalam tulisan itu, saya mengingatkan, KPK bukan lembaga perwakilan penegak hukum. Bagaimanapun, mempertahankan pemikiran setiap lembaga penegak hukum punya perwakilan di KPK potensial mencederai semangat pembentukan KPK.

Sampai sejauh ini, isu perwakilan setiap lembaga penegak hukum masih tetap menjadi salah satu isu sentral. Karena isu perwakilan itu, sebagian anggota Komisi III DPR terjebak dalam perilaku favoritisme. Buktinya, pada hari pertama uji kelayakan dan kepatutan, sejumlah anggota Komisi III DPR bertepuk tangan mendengar jawaban Antasari Azhar bahwa ia siap pasang badan untuk kasus apa pun supaya KPK tidak menjadi alat untuk menzalimi orang lain (Kompas, 04/12).

Dengan favoritisme, tujuan mendapatkan pimpinan KPK yang fit dan proper sulit dicapai. Bagaimanapun, dengan perilaku seperti itu, rekam jejak calon pimpinan KPK yang difavoritkan pasti tidak akan didalami. Muaranya, uji kelayakan dan kepatutan tidak akan menghasilkan figur pimpinan KPK yang bersih. Padahal, penelusuran dan klarifikasi rekam jejak secara mendalam amat diperlukan untuk mendapatkan pemimpin KPK yang kredibel.

Selain itu, favoritisme tidak sekadar berpotensi menyembunyikan rekam jejak sebagian calon pimpinan KPK tetapi juga cenderung dijadikan sebagai cara lain untuk menghancurkan calon-calon yang tidak difavoritkan. Membaca kecenderungan uji kelayakan dan kepatutan hari pertama dan hari kedua, calon yang tidak difavoritkan dicecar habis-habisan. Sementara itu, calon yang difavoritkan cenderung dilindungi dari pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada penelusuran rekam jejak secara mendalam.

Yang tidak kalah pentingnya, favoritisme benar-benar menghancurkan tujuan akhir uji kelayakan dan kepatutan. Misalnya, dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, beberapa calon pimpinan KPK lebih memilih jawaban yang dapat "diterima" mayoritas anggota Komisi III DPR. Padahal, dengan jawaban-jawaban seperti itu sulit membaca komitmen mereka dalam menggerakkan mesin pemberantasan korupsi yang bernama KPK.

Mencermati perkembangan selama uji kelayakan dan kepatutan, kita berharap Komisi III DPR tetap mengedepankan kepentingan pemberantasan korupsi dalam memilih pimpinan KPK. Hari ini, Komisi III DPR punya kesempatan sejarah mencatatkan diri mereka dengan tinta emas dalam agenda pemberantasan korupsi di negeri ini. Caranya, meminjam istilah Denny Indrayana, harus ada keberanian keluar dari skenario yang berujung pada pembajakan KPK (Kompas, 3/12). Kalau tidak, Komisi III DPR benar-benar sedang mendorong kereta mayat untuk menjemput kematian KPK.

pimpinan instansi dapat bantu pelaporan ke kpk

Laporan Kekayaan

Jakarta, Kompas - Penyelenggara negara diingatkan untuk melaporkan harta kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pimpinan instansi juga diharapkan dapat membantu KPK dalam pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara di instansinya.

Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Komisi Pemberantasan Korupsi (LHKPN KPK) Muhammad Sigit mengatakan, KPK tak bosan-bosannya untuk terus mengingatkan penyelenggara negara agar melaporkan harta kekayaan.

"Presiden sudah mengingatkan tentang laporan harta kekayaan itu dalam instruksinya," kata Sigit di Jakarta, Jumat (31/8).

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 ditujukan kepada menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI, kepala lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati, dan wali kota.

Diktum pertama menyebutkan, seluruh penyelenggara negara yang belum melaporkan harta kekayaannya untuk segera melaporkan kepada KPK. Diktum kedua menyebutkan, agar membantu KPK dalam rangka penyelenggaraan pelaporan, pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan LHKPN di lingkungannya.

"Jadi, kalau kita melihat inpres itu apa benar instansi tidak ikut-ikutan dalam pelaporan harta kekayaan di lingkungannya?" tanya Sigit.

Berdasarkan data KPK per 15 Agustus 2007, kepatuhan penyelenggara negara bidang yudikatif dalam melaporkan kekayaan ke KPK paling rendah dibandingkan dengan pejabat badan usaha milik negara/daerah, legislatif, dan eksekutif. Dari total 20.991 penyelenggara negara bidang yudikatif, baru sebanyak 9.188 yang melaporkan kekayaannya.

Jaksa Agung Muda Pembinaan Parnomo menyatakan, lembaran LHKPN sudah dikirimkan ke daerah. Karena itu, pengisian dilakukan jaksa di daerah masing-masing. Laporan diserahkan langsung ke KPK, tidak melalui Kejaksaan Agung. Dengan demikian, LHKPN merupakan tanggung jawab setiap jaksa, bukan institusi Kejaksaan. "Nanti kami cek, sejauh mana pelaporannya," kata Parnomo.

Jaksa Agung Muda Pengawasan MS Rahardjo, Kamis (30/8), menyampaikan, sudah memerintahkan jaksa-jaksa untuk melaporkan harta kekayaan.

"Kita kan harus menaati aturan itu. Tapi, kewajiban itu pribadi, bukan instansi," kata Rahardjo. Dia mengaku heran dengan data KPK yang menyatakan banyak jaksa belum melaporkan harta kekayaan.


menakar kejujuran di kantin sekoah

Jangan heran jika Anda tak menemui seorang penjaga pun di kantin SMA Negeri 1 Ciparay Kab. Bandung. Meski banyak pembeli "menyerbu" makanan yang dijajakan, sang penjaga kantin tak akan pernah muncul. Uniknya, pembeli memahami benar keadaan itu. Mereka akan mengeluarkan uang dari saku dan meletakkannya dalam kotak khusus saat mengambil makanan, yang jumlahnya sesuai dengan harga banderol. Jika jumlah uangnya terlalu besar, pembeli pulalah yang mengambil kembaliannya.



Tidak, penjaga kantin tidak sedang berhalangan atau sakit. Kantin di SMAN 1 Ciparay di Desa Pakutandang, Kec. Ciparay, Kab. Bandung itu memang tak memiliki penjaga. Hanya kejujuran pembelilah yang memegang peran dalam kegiatan operasional kantin tersebut sehari-hari. Rugikan? Tentu saja tidak, selama kejujuran dapat ditegakkan oleh para pembeli. Konsep yang sangat sederhana, namun mungkin akan sangat sulit dalam pelaksanaannya.


Kantin di SMAN 1 Ciparay itu dinamai Kantin Kejujuran. Sekilas, kantin ini tak ubahnya kebanyakan kantin lainnya. Pembedanya hanya dalam pola pembayaran yang menitikberatkan pada kesadaran pembeli. Kantin Kejujuran yang diresmikan.langsung oleh Bupati Bandung Obar Sobarna, Selasa (15/1) itu merupakan metode baru yang rencananya akan diterapkan di seluruh sekolah di Kab. Bandung. Meski bukan yang pertama di Indonesia, boleh jadi Kantin Kejujuran ini merupakan yang pertama di Jawa Barat.


"Kantin Kejujuran ini juga menjadi ajang pembelajaran bagi generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, lingkungan, hingga bangsa dan negara," kata Obar Sobarna. Ia berharap, tak akan ada lagi praktik "darmaji" alias dahar lima ngaku hiji (makan lima tetapi mengaku satu) dalam kehidupan sehari-hari. Jika praktik kejujuran ini mulai dapat diterapkan pada pelajar, maka diharapkan mereka akan menjadi penerus bangsa yang jujur untuk memajukan bangsa ini.


Kantin Kejujuran dapat merefleksikan tabiat para siswa yang ada di sekolah itu. Jika kantin tak bertahan lama karena bangkrut, maka hampir dipastikan para siswa di sekolah itu tak lagi berlaku jujur. Sebaliknya, kantin akan semakin maju saat semua siswa memegang tinggi asas kejujuran dalam kesehariannya.


Kantin Kejujuran itu digagas Pemkab Bandung, Kejaksaan Negeri Bandung, dan Karang Taruna. Tak tanggung-tanggung, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Eko Soesamto Tjiptadi turut hadir dalam peresmian kantin tersebut. Hadir pula Ketua Karang Taruna Pusat, Doddy Susanto.


"Saya yakin, jika satu sen saja uang dari kantin tersebut diselewengkan maka umur kantin ini tak akan lebih dari tiga bulan," kata Eko Soesamto Tjiptadi. Menurut dia, kantin tersebut merupakan media praktik pendidikan kejujuran bagi siswa sekolah. Siswa akan dihadapkan pada dua pilihan, apakah ingin menerapkan kejujuran hati nuraninya atau tidak.


"Kita seharusnya malu, Indonesia adalah negara terkorup kedua di Asia tahun ini. Ironisnya, negara ini memiliki sekitar 622.000 bangunan masjid dan paling banyak kegiatan khotbahnya," kata Eko yang disambut dengan riuhnya suara hadirin. Ia yakin, pemberantasan korupsi tidak akan berhasil selama tak ada peran serta seluruh masyarakat, termasuk siswa sebagai generasi penerus bangsa. Apabila kejujuran sudah diterapkan sejak dini, diharapkan akan dapat menyukseskan pemberantasan korupsi pada masa yang akan datang.


Acara pembukaan Kantin Kejujuran ini diikuti perwakilan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah se Kab. Bandung. Pada tahap selanjutnya, program ini akan diterapkan di seluruh SLTA di Kab. Bandung. Pada kesempatan yang sama, Bupati Bandung memberikan dana stimulan bagi beberapa SLTA untuk menerapkan sistem Kantin Kejujuran tersebut.


Mungkin sudah saatnya para pejabat penting negara ini bercermin pada siswa SMAN 1 Ciparay. Jika anak sekolah saja bisa berbuat jujur, mengapa masih banyak pejabat yang korup? Tunggu apa lagi? ***


Sumber : Pikiran Rakyat, 16 Januari 2008

pembangunan hukum &penberantasan korupsi (refleksi akhir tahun)

Pemberantasan korupsi sejak era Reformasi telah melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama pada 1998-2002, melaksanakan kebijakan hukum dalam pemberantasan korupsi untuk memenuhi janji reformasi, terutama terhadap mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, dan dilanjutkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi empat bidang, yaitu hukum di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan; hukum di bidang politik; hukum di bidang sosial; serta hukum di bidang hak asasi manusia.



Seluruh perundang-undangan dalam keempat bidang hukum tersebut telah diselesaikan dalam kurun waktu empat tahun pertama, disusul dengan beberapa perubahan atas perundang-undangan tersebut, yang telah terjadi dalam kurun waktu dua tahun selanjutnya sampai 2004.


Pembentukan hukum dan perubahan-perubahan yang kemudian telah dilakukan tampaknya belum dapat dilihat keberhasilannya dalam kurun waktu empat tahun tahap kedua (2004-2008), sekalipun dalam penegakan hukum dan regulasi dalam bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan telah menunjukkan hasil yang signifikan untuk memacu peningkatan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pelaku usaha.


Penekanan untuk memacu arus penanaman modal asing lebih mengemuka dibanding perlindungan hukum dan kepastian hukum, baik terhadap pelaku usaha pribumi maupun asing. Masalah kontroversial dalam pembangunan bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan masih akan terus berlanjut sehubungan dengan belum adanya kejelasan politik hukum yang akan dijalankan pemerintah sejak era Reformasi sampai akhir 2007. Hal ini tidak mudah karena masih belum ada penafsiran hukum yang sama di antara pengambil keputusan dan para ahli terhadap bunyi ketentuan Pasal 33 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.


Ketidakjelasan tersebut juga disebabkan oleh semakin lemahnya landasan falsafah Pancasila yang digunakan untuk berpijak dalam menghadapi perkembangan cepat arus liberalisme dan kapitalisme internasional. Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis identitas. Keadaan serius bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas berdampak besar terhadap setiap kebijakan hukum dan penegakan hukum yang akan dilaksanakan pemerintah, siapa pun pemimpin nasionalnya.


Salah satu dampak yang telah teruji kebenarannya adalah kebijakan hukum dan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Refleksi gerakan pemberantasan korupsi sejak kuranglebih 52 tahun yang lampau sarat dengan tujuan memberikan penjeraan dengan penjatahan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi disertai keinginan keras untuk sebesar-besarnya memberikan kemanfaatan bagi pengembalian keuangan negara yang telah diambil pelakunya.


Tujuan dimaksud tampak nyata secara normatif dalam empat langkah perubahan ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (1971-2001), antara lain, ancaman hukuman ditetapkan minimum khusus dan pemberatan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman pidana pokok, terutama terhadap pelaku penyelenggara negara dan penegak hukum. Selain itu, kerugian (keuangan) negara telah ditetapkan menjadi salah satu unsur penentu ada-tidaknya suatu tindak pidana korupsi.


Pola kebijakan legislasi tersebut secara nyata menampakkan filsafat kantianisme di satu sisi dan filsafat utilitarianisme di sisi lainnya; dua pandangan filsafat yang berbeda mendasar dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sejak ditemukannya pada Juni 1945. Namun, kebi' jakan legislasi pemberantasan korupsi tersebut secara normatif telah dilaksanakan tanpa hambatan-hambatan berarti sampai saat ini. Kendala serius yang menghadang kebijakan legislasi tersebut justru terletak pada faktor-faktor nonhukum dan pola penegakan hukum yang belum secara maksimal diharapkan dapat menimbulkan harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Kultur bangsa Indonesia tidaklah sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena masalah harmonisasi kehidupan dan hubungan interpersonal ternyata masih menentukan keberhasilan suatu perencanaan/program dalam mencapai tujuannya.


Kultur bangsa Indonesia menabukan penyebarluasan aib di muka umum, apalagi dalam posisi hukum masih belum dinyatakan bersalah oleh kekuatan suatu putusan pengadilan. Gerak langkah pemberantasan korupsi yang mengedepankan "mempermalukan" di muka publik dengan aib yang melekat pada seseorang terbukti telah kontraproduktif dan antipati terhadap gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri. Konsekuensi lanjutan yang tampak adalah resistansi menguat dan politisasi menajam terhadap setiap gerak langkah Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak pembentukannya.


KPK bukan ICAC Hong Kong atau Korea Selatan atau BPR Malaysia; begitu pula institusi Kejaksaan Agung. Semakin jelas kiranya bahwa inti persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan semata-mata masalah penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan demi kepastian hukum dan keadilan, melainkan erat kaitannya dengan masalah perubahan kultur dan sikap masyarakat yang sangat permisif dalam hal memberikan dan menerima hadiah yang kemudian dikenal sebagai gratifikasi.


Sampai saat ini, perubahan kultur dan sikap anti terhadap gratifikasi di kalangan penyelenggara negara telah ada titik terang. Terbukti 50 persen dari seluruh penyelenggara negara telah melaporkan harta kekayaan mereka kepada KPK, dan dari 50 persen tersebut, kuranglebih 10 persen telah melaporkan pemberian/penerimaan hadiah kepada KPK. Sejak diberlakukannya ketentuan larangan gratifikasi pada 2001, perubahan tersebut telah ada kemajuan berarti sekalipun masih belum menyeluruh. Kegigihan KPK mengumumkan pelaporan harta kekayaan oleh penyelenggara negara berdampak positif terhadap perubahan kultur dan sikap tersebut.


Keberhasilan KPK memperkarakan korupsi sebanyak 59 kasus, yang melibatkan pejabat negara, penegak hukum, dan lembaga negara serta pemimpin proyek, ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selama kurun waktu empat tahun merupakan prestasi luar biasa, sekalipun agenda prioritas pemajuan perkara sampai saat ini belum jelas dan terbuka kepada publik. Masalah pokok kinerja KPK dan Kejaksaan Agung terletak pada penguatan transparansi serta akuntabilitas kinerja kepada publik agar tidak menimbulkan mispersepsi adanya diskriminatif atau "tebang pilih".


Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan penguatan mekanisme internal di KPK dan Kejaksaan Agung dalam masalah tersebut. Pembangunan hukum dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang, seharusnya menanamkan paradigma baru, yaitu bahwa pencegahan dan penindakan serta pengembalian aset korupsi merupakan tiga pilar utama yang berkaitan erat.


Penindakan dan penghukuman pelaku korupsi tidak akan berhasil signifikan untuk membangun pemerintah yang sehat dan berwibawa serta bebas korupsikolusinepotisme jika pencegahan melalui reformasi birokrasi tidak dilaksanakan secara optimal. Begitu pula kedua strategi tersebut tidak dapat disebut berhasil secara komprehensif dan memberikan kontribusi signifikan terhadap anggaran negara jika tidak berhasil mengembalikan aset korupsi kepada negara atau memberikan perlindungan kepastian hukum kepada pihak ketiga yang beriktikad baik.


Merujuk pada tiga strategi tersebut, masalah pemberantasan korupsi di masa mendatang bukan terletak pada faktor penghukuman semata-mata, melainkan seberapa jauh kinerja KPK dan Kejaksaan Agung dapat membangun sistem birokrasi yang "aman dan terlindungi" dari perilaku koruptif serta seberapa banyak kontribusinya terhadap kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pengembalian aset hasil korupsi yang disembunyikan di dalam negeri dan ditempatkan di luar negeri.


Ketiga strategi baru pemberantasan korupsi di masa mendatang harus diperlakukan secara seimbang, direncanakan dengan baik dan berkesinambungan, sehingga persoalannya nanti bukan terletak pada mana yang lebih penting: menghukum atau mengembalikan aset korupsi, melainkan terletak pada efisiensi dan efektivitas penegakan hukum yang memiliki kepastian hukum dan berkeadilan sosial. (Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran)




Sumber: Koran Tempo, 3 Januari 2008

agenda kpk : pelayanan pubik jadi fokus

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memprioritaskan pemberantasan korupsi di bidang pelayanan publik. Ketua KPK Antasari Azhar mengatakan hal itu dalam konferensi pers evaluasi kinerja KPK 2007 dan pemaparan rencana kerja 2008 di Gedung KPK, Jakarta, kemarin. Antasari didampingi oleh para wakil ketua, yaitu Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, M Yasin, dan Haryono.


"Kami akan fokuskan di bidang pelayanan publik seperti perizinan, kesehatan, dan pendidikan. Tetapi tidak mungkin kami katakan sekarang bahwa kami akan menangkap orang yang melakukan pungutan liar atau mencoba menyuap di sana," tutur Antasari.



Menurut Antasari, pihaknya mengedepankan fungsi pencegahan korupsi. Untuk itu, kata dia, KPK akan mengefektifkan kerja inspektorat jenderal dan satuan pengawas internal di lingkungan instansi pemerintah dan BUMN serta badan pengawasan daerah. Langkah itu, lanjut dia, dimaksudkan untuk mengurangi atau meminimalkan kebocoran keuangan negara.


KPK telah menganggarkan dana sebesar Rp31,8 miliar untuk fungsi pencegahan dari total anggaran KPK 2008 sebesar Rp264,193 miliar. Sedangkan untuk kepentingan penindakan KPK menganggarkan dana Rp86,8 miliar, anggaran setiap kasus mencapai Rp350 juta. Dana BI Prioritas lain pimpinan KPK ialah menuntaskan pengusutan kasus korupsi yang diwariskan pimpinan KPK sebelumnya, antara lain aliran dana dari Bank Indonesia ke Senayan.


Menurut Antasari, selama dua pekan sejak 7 Januari 2008 hingga 21 Januari 2008, KPK sudah menjadwalkan pemanggilan terhadap semua pihak yang terlibat dalam kasus aliran dana BI.


Ia menjelaskan KPK akan terus mengumpulkan bahan dan keterangan dari seluruh pihak yang terlibat, baik dari BI, DPR, maupun pihak lain, guna menemukan petunjuk apakah kasus aliran dana itu termasuk perbuatan korupsi.


Dari pengumpulan keterangan dan bahan yang dikumpulkan KPK tersebut, kata dia, KPK akan memutuskan apakah kasus aliran dana BI dapat dilanjutkan ke penyidikan atau justru dihentikan penyelidikannya. "Yang jelas, kasus ini tidak didiamkan," kata Antasari.




Sumber: Media Indonesia, 4 Januari 2008

opini masyarakat anti korupsi

Memberantas korupsi tidak semata-mata bertujuan menangkap dan menahan para pelaku korupsi, tetapi bagaimana bisa membangun kultur tidak melakukan korupsi. Dalam pandangan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Konipsi (KPK) Chandra M Hamzah, hal itu justru membutuhkan upaya cukup berat.


Menurut mantan Wakil Ketua DPC Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Jakarta Pusat ini, hal yang terbaik adalah membentuk masyarakat yang tidak melakukan korupsi tanpa diawasi penegak hukum. Namun, seandainya kondisi ideal itu tidak bisa dicapai, setidaknya ada sebagian masyarakat yang mempunyainya.



Untuk itu, pria kelahiran Jakarta, 25 Februari 1967, ini tidak mengharapkan upaya pemberantasan korupsi hanya dibebankan kepada KPK. "Kalau pemberantasan korupsi dilakukan oleh KPK saja, akan berapa banyak SDM yang harus direkrut," kata Chandra.


Pria yang gemar membaca puisi dan prosa ini bertekad tidak akan menerima bayaran dari pihak mana pun selain dari KPK selama menjabat wakil ketua lembaga superbody tersebut. Padahal, sebagai pengacara praktik, bukan tidak mungkin Chandra bisa membukukan penghasilan lebih besar dari gaji seorang Wakil Ketua KPK.


"Pejabat negara tidak perlu menerima tambahan uang walaupun sebagai tanda terima kasih berupa uang atau barang. Hak pejabat negara hanya gaji," kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1995 ini dalam suatu kesempatan setelah dilantik sebagai pimpinan KPK. Di antara pimpinan KPK lainnya, Chandra bukan hanya berusia ' paling muda, tetapi mengaku memperoleh gaji paling kecil. Sebab, sehagai orang "swasta", dia tidak bisa menerima utuh gaji pimpinan KPK yang Rp 60 juta per bulan, tetapi harus dipotong pajak progresif. Gaji yang dibawa pulang tinggal Rp 38 juta per bulan.


Sumber : Suara Karya, 12 Januari 2008

kpk gandeng dpd utk cegah korups daerah

KPK dan DPD sepakat melanjutkan kerja sama dalam hal pemberantasan korupsi. KPK berharap wujud kerja sama itu tidak hanya berupa penindakan, tapi menjangkau upaya pencegahan. Ketua KPK Antasari Azhar dan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita mengungkapkan itu dalam pertemuan silaturahim di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (17/1).



Pada 16 Agustus 2006, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah pimpinan Taufiequrachman Ruki meneken nota kesepahaman (MoU) dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menjalin kerja sama pemberantasan korupsi. Terutama, untuk kasus-kasus korupsi yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah perwakilan para anggota DPD.


Realisasi dari kerja sama kedua lembaga itu berupa upaya para anggota DPD saat melakukan kunjungan kerja ke daerah untuk menghimpun dan mengumpulkan informasi tentang penyelewengan uang negara yang dilakukan pejabat publik di daerah.


Informasi itu kemudian dibawa ke Jakarta dan dilaporkan ke KPK untuk ditindaklanjuti secara hukum. Seiring adanya MoU tersebut, DPD membentuk sebuah tim khusus yang dipimpin anggota DPD dari daerah pemilihan Jakarta, Marwan Batubara. Tim bertugas memverifikasi dan merumuskan setiap temuan korupsi yang diperoleh di daerah sebelum dilaporkan ke KPK.


Antasari menyatakan kerja sama kedua lembaga yang sudah terjalin itu akan diteruskan dengan langkah-langkah yang lebih konkret. Bahkan ia berharap kerja sama itu tidak hanya dalam hal penindakan tapi juga pencegahan terjadinya korupsi.


Para anggota DPD yang merupakan perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia, diharapkan Antasari, dapat berperan aktif dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita berjanji akan berusaha maksimal membantu KPK memberantas korupsi di Indonesia. ***


Sumber : Media Indonesia, 18 Januari 2008

undang2 yang terkait dengan kpk

Sejumlah peraturan per-undang-undang-an yang terkait dengan K P K antara lain:


Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

  1. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  2. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
  5. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

  1. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
  2. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
  4. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
  5. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Selengkapnya mengenai Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi dapat di lihat di Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

visi dan misi kpk indonesia

Visi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah

"Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi"

Visi tersebut merupakan suatu visi yang cukup sederhana namun mengandung pengertian yang mendalam. Visi ini menunjukkan suatu tekad kuat dari KPK untuk segera dapat menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut KKN. Pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang tidak sedikit mengingat masalah korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara instan, namun diperlukan suatu penanganan yang komprehensif dan sistematis.




Misi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah

"Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi"

Dengan misi tersebut diharapkan bahwa komisi ini nantinya merupakan suatu lembaga yang dapat "membudayakan" anti korupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta di Indonesia. Komisi sadar bahwa tanpa adanya keikutsertaan komponen masyarakat, pemerintah dan swasta secara menyeluruh maka upaya untuk memberantas korupsi akan kandas ditengah jalan.
Diharapkan dengan partisipasi seluruh lapisan masyarakat tersebut, dalam beberapa tahun mendatang Indonesia akan bebas dari KKN.

KPK: Indonesia Negara Terkorup Urutan Kelima Dunia


Jakarta (ANTARA News) - Indonesia merupakan rengking kelima negara terkorup dunia, oleh karena itu sebaiknya semua pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan pencegahan secara dini untuk tidak memgkorup uang negara.

"Indonesia menjadi urutan kelima itu karena masalah korupsi hanya dijadikan bacaan, bukan sebagai larangan yang harus ditaati," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dr. Sjahruddin Rasul, SH, usai melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman MoU antara KPK dan FH Universitas Sahid, di Jakarta, Selasa.

Indeks korupsi Indonesia juga sangat rendah, yakni 2,4 poin. Poin itu nilainya sama dengan 4 atau D. Jika seorang mahasiwa yang mendapat nilainya D atau 4 dalam ujiannya, dia tidak lulus, katanya mencontohkan.

Menurutnya, Indonesia hanya satu langkah di bawah negara Timor Leste, negara yang baru saja merdeka. Oleh karena itu, kata Sjahruddin, semua pihak seyogianya menyadari masalah itu dan pemerintah sebaiknya juga menetapkan korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary).

"Bagi KPK, masalah korupsi termasuk kejahatan yang luar biasa. Karena itu jika ada yang berpendapat masalah korupsi merupakan tindak pidana biasa, pihaknya tidak mengerti karena korupsi ibarat wabah penyakit sudah sangat menakutkan," katanya.

Dikatakan, KPK kini sedang gencar-gencarnya melakukan usaha pemberantasan korupsi dengan melibatkan perguruan tinggi. "Saya ini sudah menandatangani MoU dengan 52 perguruan tinggi, terdiri dari 50 naskah dengan perguruan Tinggi Negeri dan 2 naskah dari Universitas swasta, yakni Usaid dan Binus," katanya.

Isi dari MoU antara lain, mahasiswa dapat melakukan seminar, pelatihan kepada anak-anak SLA atau SLTP termasuk melakukan penelitihan kepada masyarakat dengan pendanaan bersumber dari KPK dan kampus bersangkutan.

Sementara itu, Rektor Universitas Sahid, Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, MS menambahkan, MoU ini dimaksudkan mendukung program KPK dalam melakukan usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, kata Hidayat, MoU ini sebaiknya tidak hanya terjadi di atas kertas, namun benar-benar dapat diimplementasikan oleh masing-masing pihak.

Korupsi, kata Hidayat, sangat merugikan keuangan negara yang berdampak pada lambatnya pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur lainya, karena uang negara yang seyogianya untuk meningkatkan pembangunan dikorupsi oleh oknum tertentu.

"Melalui Nota Kesepahaman yang telah ditandangani itu, diharapkan dapat membantu tugas KPK, minimal dapat mensosialisasikan kepada masyarakat atau anak-anak sekolah, bahwa korupsi itu merupakan berbuatan tercela, dan tidak terpuji," katanya.(*)